Selasa, 26 April 2011

Interview

Hasil Wawancara dengan Bapak Asep Syariffudin, Guru TIK SMAN 12 Jakarta


1.     Menurut Bapak, perkembangan IPTEK di Indonesia sudah mulai berkembang sejak tahun berapa?
“Dari tahun 1985, sejak saya duduk di bangku SMA, perkembangan IPTEK mulai terlihat seperti belajar komputer dan belajar Internet walaupun banyak keterbatasan seperti pulsa. Dulu, provider Internet hanya Telkomnet@instan sehingga beban pemakaian dibebankan ke rekening telepon yang menyebabkan bengkaknya pembayaran”.

2.     Apakah positif atau dampak negative yang lebih terlihat dari perkembangan IPTEK tersebut?
“Itu tergantung kepada orang yang memakainya, tapi menurut saya sendiri, banyak positifnya”.

3.     Apakah manfaatnya bagi Bapak sendiri?
“Biasanya saya online pakai HP, baik ketika sedang berada dalam perjalanan, sambil messenger-an, sehingga manfaatnya terasa sekali dalam bidang komunikasi”.

4.     Pentingkah alat komunikasi?
“Sangat penting, karena walau jarak sejauh apapun, saya dapat memberikan informasi dengan cepat kepada orang lain”.

5.     Menurut Bapak, bisa tidak remaja hidup tanpa alat komunikasi (seperti HP)?
“Bisa saja. Contohnya anak saya, ketika saya suruh untuk bawa HP, ia menolak. Mungkin karena kebutuhannya belum sampai situ atau mungkin takut ketahuan guru dan dihukum. Toh kalau perlu, mungkin hanya sebatas untuk telepon atau SMS (Short Message Service) saja”.

6.     Merasa bersaing gak, pak dengan anak muridnya soal teknologi yang lagi happening sekarang?
“Saya merasa bersaing. Mereka biasanya lebih tahu perkembangan teknologi. Contohnya, saya baru tahu dari anak murid saya kalau Friendster yang tadinya tidak bisa chat, ternyata sekarang sudah bisa chat”.

7.     Sudah efisienkah penggunaan WiFi sekolah?
“Belum efisien. Karena walaupun WiFi sudah menjangkau satu sekolah, tetapi hanya 5% siswa yang menggunakannya. Itupun digunakan bukan hanya untuk kegiatan KBM, akan tetapi juga untuk online jejaring sosial seperti Facebook”.

8.     Benar tidak kalau generasi sekarang disebut sebagai “Generasi Online”?
“Iya, tapi pengertian online sendiri bukan setiap saat online, akan tetapi sering online. Contohnya ketika saya mengirim message ke salah satu user, dia tidak membalas karena dia offline. Begitu juga kalau hari Sabtu dan Minggu, lebih banyak online karena sedang berada di luar rumah“.

9.     Menurut Bapak, bagaimana cara penggunaan teknologi tersebut?
“Bisa digunakan untuk hal yang lebih berguna seperti mencari materi KBM daripada hanya digunakan untuk netting”.

Selasa, 12 April 2011

Kartini's Life Dedication

Happy April everyone!!!

Berjumpa lagi dengan kita di Lifestyle :)

Pada bulan ini, ada salah satu tokoh wanita Indonesia yang lahir pada tahun 1879.
Tokoh wanita ini terkenal dengan perjuangannya untuk menyamaratakan kedudukan wanita dan pria pada zaman itu.Sehingga dikenal dengan "Pejuang Emansipasi Wanita" pertama di Indonesia.
Dia adalah ibu kita, Raden Ajeng Kartini
 
Mari kita simak perjalanan hidupnya dahulu.

Biografi

Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Kartini adalah salah satu keturunan dari Hamengkubuwono VI.


Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.


Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.

Di antara buku yang dibaca Kartini, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden, karya Augusta de Witt, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata).

Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Kehidupan Yang Ideal

Menurut Kartini, kehidupan wanita Indonesia, khususnya Jawa pada saat itu tidaklah berkembang. Hal ini bisa kita lihat dalam suratnya kepada salah satu sahabat penanya. Dia mengatakan bahwa tradisi dan adat Jawa Tengah mengekang kebebasan wanita pada saat itu, khususnya dalam hal mendapatkan pendidikan yang layak. Dalam suratnya, Kartini menyuarakan ide-idenya, termasuk mengenai Zelf-ontwikkeling, Zelf-onderricht, Zelf-vertrouwen, Zelf-werkzaamheid and Solidariteit dalam Bahasa Indonesia yakni Kepercayaan kepada Tuhan, Ilmu Pengetahuan, Kecantikan yang sejalan dengan humanisme dan nasionalisme terhadap Indonesia.

Salah satu yang disorot adalah kehidupan vegetarian. Menurut R.A Kartini, kehidupan seorang vegetarian adalah sebuah doa yang tak terucapkan dengan kata-kata kepada Tuhan YME.

"Living a life as vegetarian is a wordless prayer to the Almighty."- R.A. Kartini
Kartini sempat memikirkan peluang untuk belajar di Eropa. Hal ini didukung oleh sahabat penanya, bahkan sudah mengumpulkan hal-hal yang diperlukan untuk sekolah Kartini. Akan tetapi, Kartini membatalkan minatnya. Beberapa sahabat penanya yang sudah berjuang merasa kecewa. Menurut Kartini, ini adalah hal yang terbaik untuk dirinya dan adiknya yang masih bersekolah.

Sumber : Wikipedia Inggris dan Wikipedia Indonesia